Selama ini kita lebih menganggap serangga adalah hewan yang menjijikkan, hewan penggangu petani maupun sumber penyakit, walaupun ada juga yang popular dan disukai seperti kupu-kupu. Akan tetapi siapa sangka ada beberapa jenis serangga seperti lalat yang mampu membantu penyelidikan dalam kasus pembunuhan.
Dengan memeriksa pola pertumbuhan larva pada mayat, informasi mengenahi waktu pembunuhan dapat dketahui. Untuk mengetahui hubungan antara larva serangga dengan kasus pembunuhan maka dikenalkan adanya entomologi forensik atau serangga forensik. Pengertian entomologi forensik tersebut digunakan untuk menganalisis kematian.
Kebanyakan kasus yang melibatkan entomologi forensik adalah kasus kematian yang terjadi setelah 72 jam. Sebelum 72 jam, metode forensik lainnya memiliki keakuratan yang sama atau bahkan lebih baik dalam menentukan waktu kematian. Setelah tiga hari, keberadaan serangga seringkali menjadi bukti yang akurat dalam menentukan waktu kematian.
Entomologi dalam forensik terutama digunakan dalam menentukan interval pos-mortem atau waktu kematian. Ilmu ini bukanlah subyek untuk kasus kematian karena penyakit yang diderita mayat, tetapi terutama digunakan dalam investigasi pembunuhan. Sejumlah parameter yang digunakan antara lain panjang larva, berat larva, urutan pergiliran kolonisasi spesies serangga yang berbeda pada mayat, tahap perkembangan hingga kondisi cuaca yang terangkum dalam teknik accumulated-degre hour.
Sejarah entomologi forensik menggunakan analisa serangga yang seringkali digunakan adalah serangga yang paling awal mendatangi mayat. Beberapa serangga akan tiba kurang dari 24 jam setelah kematian. Kelompok serangga yang paling awal biasanya adalah jenis Calliphoridae atau lalat berwarna hijau kebiruan. Spesies lain adalah Muscidae atau lalat rumah yang berwarna hitam dan berukuran kecil. Kedua spesies serangga tersebut umumnya kita jumpai sehari-hari, sehingga mudah dikenali.
Lalat tertarik mendatangi mayat untuk meletakkan telurnya. Telur biasanya diletakkan pada tempat luka yang terbuka atau lubang pada tubuh seperti lubang hidung, mulut, dan lain-lain.
Setelah memahami definisi entomologi forensik, maka setelah menetas dari telur, serangga memasuki tahap larva mulai dari instar atau tahap pertama hingga instar tahap akhir yang ditentukan dari ukuran larva dan jumlah spirakel atau lubang saluran udara untuk bernapas. Setelah itu, larva akan mencapai tahap pre-pupa dan pupa atau kepompong. Beberapa hari kemudian serangga dewasa keluar dari pupa.
Spesies serangga lainya yang datang tidak tertarik pada mayat segar dan hanya tertarik pada mayat yang membusuk. Serangga jenis ini biasanya adalah kelompok Piophilidae. Serangga tersebut tertarik akan adanya serangga sebelumnya untuk dimangsa. Lalat tertarik mendatangi mayat untuk meletakkan telurnya. Telur biasanya diletakkan pada tempat luka yang terbuka atau lubang pada tubuh seperti lubang hidung, mulut, dan lain-lain.
Baca juga: Makalah Entomologi Forensik (Disertai Gambar dan Contoh Studi Kasus) dari Jurnal Entomologi Forensik
Informasi yang diberikan oleh ahli entomologi medis dan forensik kemudian dapat digunakan untuk mendiskreditkan alibi tersangka. Tidak hanya waktu kematian, ahli juga dapat menarik kesimpulan mengenahi kemungkinan adanya gerakan pada mayat setelah kematian.
Beberapa spesies memiliki habitat yang spesifik untuk meletakkan telurnya. Contohnya adalah pengaruh sinar matahari. Mayat yang ditemukan dalam ruangan, namun mengandung telur atau larva spesies lalat yang meletakkan telurnya di tempat yang terkena sinar matahari akan menunjukkan seseorang telah kembali ke tempat terjadinya kematian dan memindahkan mayat.
Tak hanya itu, beberapa serangga mungkin merupakan serangga khas pada habitat tertentu. Jika serangga khas tersebut ditemukan pada mayat didaerah yang bukan habitatnya, maka selain mayat tersebut telah dipindahkan, tempat terjadinya kematian dapat ditelusuri.
Sumber Gambar: sfu.museum