DUA bulan yang lalu aku menulis sebuah artikel berjudul “Arti Cinta dalam kehidupan” dimuat didalam sebuah surat kabar harian terbitan Ibukota. Disitu aku mendapat begitu banyak respon mengenai opiniku, banyak yang sependapat banyak pula yang tidak sependapat. Begitu banyak pro dan kontra mendoskriminasikan ketentuan tulisanku.
Contohnya Pak Ridwan, seorang Dosen disalah satu perguruan tinggi swasta dijakarta. Dia berpendapat : Bagi saya cinta itu adalah sebuah manifiesto yang statismiknya selalu berubah ubah menurut skala amplifier-nya. Dua tahun yang lalu saya bertemu dengan istri ke-2 saya, dan disaat itu saya teramat mencintainya. Bahkan saya ragu, apakah saya masih bisa hidup tanpa kehadirannya disisi saya. Lalu singkatnya kamipun menikah, dan saya menjadi orang paling bahagia sedunia.
Tapi merangkaknya waktu yang telah mengkeratkan keaslian sifatnya, membuat cinta saya padanya tertanggal kian harinya. Sampai batas substansi yang tidak mungkin saya ceritakan. Enam bulan sesudahnya kamipun cerai. Hanya kurang lebih enam bulan, kisaran waktu telah merubah kebahagian menjadi kesedihan, dan cinta menjadi kebencian. Jadi saya kurang setuju tentang pengutipan artikel minggu lalu, yang menggambarkan cinta adalah kekuatan. Yang mampu merubah orang biasa menjadi luar biasa. Karna bagi saya, pribadi cinta adalah sesuatu yang abstrak namun ber-expired, ada kalanya dia akan habis sebelum masa tenggangnya.
Tapi merangkaknya waktu yang telah mengkeratkan keaslian sifatnya, membuat cinta saya padanya tertanggal kian harinya. Sampai batas substansi yang tidak mungkin saya ceritakan. Enam bulan sesudahnya kamipun cerai. Hanya kurang lebih enam bulan, kisaran waktu telah merubah kebahagian menjadi kesedihan, dan cinta menjadi kebencian. Jadi saya kurang setuju tentang pengutipan artikel minggu lalu, yang menggambarkan cinta adalah kekuatan. Yang mampu merubah orang biasa menjadi luar biasa. Karna bagi saya, pribadi cinta adalah sesuatu yang abstrak namun ber-expired, ada kalanya dia akan habis sebelum masa tenggangnya.
Lalu ada juga tanggapan dari Arumi, mahasiswi ekonomi asal jombang, dia bilang : Cinta itu sesuatu yang absolut, tak terbatas kadarnya. Karna dengan cinta saya telah menemukan pembatasan yang senantiasa mengarahkan saya kepada perbandingan sebuah bentuk rekaan nilai kebaikan dan keburukan yang saya temui. Dan dengan cinta saya telah menemukan kehidupan saya yang sebenarnya bersama satu sosok orang terkasih. Jadi, terima kasih cinta:)
Lalu ada lagi, seorang pengangguran asal Madura, helmi, dia berkelakar : Cinta itu bullshit, dan bagi saya sepenuhnya, cinta itu hanya berlandaskan materialistik saja, dengan pondasi-pondasi yang menawan namun penuh kebohongan.
Sebab mata cinta hanya memandang sesuatu yang berkilau saja!
Sebab mata cinta hanya memandang sesuatu yang berkilau saja!
Begitu banyak rentetan tentang tanggapan yang masuk dalam kolom artikel saya, yang marak terbit kian harinya. Membuat saya merasa bahwa sudah saatnya membalas konklusi-konklusi mereka, dan hari ini saya mengeluarkan perdebatan lanjutan, mengenai unsur rekomendasi perkemukaan saya, dan dimuat disurat kabar hari ini :
Klasifikasi cinta terfilosofikan laksana sebuah kudapan benih hasrat ruh masa lalu yang mati, tanpa jasad dan raga. Namun dari jenasahnya berlahan tumbuh sekepak sayap, kepak sayap itu lambat laun berkamuflase menjelma menjadi sebuah rasa simpati, rasa ketertarikan dan rasa ingin memiliki. Dia singgah melalui sebuah pandangan dan juga kesan yang menukik disetiap lindas dan yang berkehidupan.
Lalu dia meluas memenuhi setiap rongga-rongga pernik kediaman manusia, bahkan diresistensi binatang invertebrata sekalipun. Dia begitu berangkai, sampai ranting-ranting ujungnya saja tak akan mampu kita temukan, dan dia juga begitu sangat berwarna, hingga ketentuan seluruh warna didunia ini akan pekat jika kita sejajarkan dengan warna auranya, dialah cinta. Sampai akhirnya dia tumbuh melalui tafsiran perasaannya masing-masing, seperti sebagaimana rindu, sebagaimana benci. Lalu sampai tiba masa peluruhan menjelang kematiannya kembali. Namun ia sebenarnya tidak mati, dia tetap hidup dalam kematiannya.
Lalu dia meluas memenuhi setiap rongga-rongga pernik kediaman manusia, bahkan diresistensi binatang invertebrata sekalipun. Dia begitu berangkai, sampai ranting-ranting ujungnya saja tak akan mampu kita temukan, dan dia juga begitu sangat berwarna, hingga ketentuan seluruh warna didunia ini akan pekat jika kita sejajarkan dengan warna auranya, dialah cinta. Sampai akhirnya dia tumbuh melalui tafsiran perasaannya masing-masing, seperti sebagaimana rindu, sebagaimana benci. Lalu sampai tiba masa peluruhan menjelang kematiannya kembali. Namun ia sebenarnya tidak mati, dia tetap hidup dalam kematiannya.
Nah, pada kenyataannya. Kita hanya mau menerima dan mengakui eksistensi cinta itu cuma pada hal yang baik-baiknya saja. Seperti saat kita mencintai seseorang yang ternyata juga balik mencintai kita. Juga hal-hal baik lainnya, yang tentunya selalu diselingi bersama rindu-rindu manis. Disitu kita akan mengagung agungkan cinta dengan berbagai pujian-pujian indah, dengan menganggap serasa dunia ini milik berdua. Namun, jika kita menerima atau mengalami dari kebalikannya fakta tersebut, sebisanya kita akan memungkirinya dengan berbagai ulasan bernarasi negatif oleh tanggapan-tanggapan terkesan penuh ego.
Sebab jikalau saja kita mampu menilik secara presisi, dalam kategori-kategorinya, cinta itu hanya sebuah resapan rasa, lalu terbiasa. Cinta laksana lintasan air mengalir yang terus mengalir menuju ketempat berceruk dan tentu saja akan selalu mengisi setiap lekuk hati dan lubang-lubang perasaan yang dia lalui. Disitu cinta akan mengikuti bentuk penampungnya dengan berbagai kejadian dan juga nasib si pelaku, kadang indah, kadang penuh derita dan benci. Lainnya lagi, cinta akan selalu dikombinasikan dengan rentangan waktu, guna untuk meluruh bersama. Cinta dan waktu ialah sebuah pautan hal yang tidak bisa dipisahkan. Butuh waktu buat mencintai, butuh waktu juga buat melepas cinta itu.
Sebab jikalau saja kita mampu menilik secara presisi, dalam kategori-kategorinya, cinta itu hanya sebuah resapan rasa, lalu terbiasa. Cinta laksana lintasan air mengalir yang terus mengalir menuju ketempat berceruk dan tentu saja akan selalu mengisi setiap lekuk hati dan lubang-lubang perasaan yang dia lalui. Disitu cinta akan mengikuti bentuk penampungnya dengan berbagai kejadian dan juga nasib si pelaku, kadang indah, kadang penuh derita dan benci. Lainnya lagi, cinta akan selalu dikombinasikan dengan rentangan waktu, guna untuk meluruh bersama. Cinta dan waktu ialah sebuah pautan hal yang tidak bisa dipisahkan. Butuh waktu buat mencintai, butuh waktu juga buat melepas cinta itu.
Jadi seperti yang saya simbolkan, baik dan tidak baik kita menuai varian cinta, semua merupakan sebuah jelujur takdir yang telah disusupkan dalam empiri setiap perannya sendiri-sendiri, tanpa bisa diejawantahkan lagi. Karna kesahihan cinta sangatlah validitas.
Besoknya aku menunggu tanggapan dari artikel saya, namun sampai beberapa hari lamanya aku menunggu, tidak ada seorangpun yang mengemukakan opini balasannya. Sampai akhirnya ada sebuah artikel baru masuk dalam surat kabar harian yang kuterima pagi ini, namun dengan telah berganti versi topik. Mengupas tentang sesuatu hal yang berbau edukasi, berjudul : "Membentuk Mental".
Sampai terbitan surat kabat berikutnya, sudah ada begitu banyak tanggapan masuk memenuhi rubrik artikel tersebut. Namun berikut kuketahui dalam larik deretan nomor dua, selalu ada sebuah kolom yang kosong, menyusul dibagian bawahnya ada begitu banyak opini kemukaan yang masuk. Aku tersenyum menyaksikannya, ketika aku tahu kolom kosong nomor dua adalah sebuah kolom yang diperuntukkan buat tanggapanku.
Mengetahui begitu suksesnya rekomendasi artikel saya minggu lalu, hingga tim redaksi menantikan opiniku yang dianggapnya mampu membawa perdebatan lebih menarik. Namun saat ini aku lagi enggan menyalurkan opiniku buat beragumentasi, karna bagiku semua itu tidaklah duratif. Seperti kata seorang dosen asal jakarta yang menyinggung artikelku beberapa bulan lalu, bahwa semua hal itu ada expired-nya, adakalanya akan habis sebelum masa tenggangnya.
Sampai terbitan surat kabat berikutnya, sudah ada begitu banyak tanggapan masuk memenuhi rubrik artikel tersebut. Namun berikut kuketahui dalam larik deretan nomor dua, selalu ada sebuah kolom yang kosong, menyusul dibagian bawahnya ada begitu banyak opini kemukaan yang masuk. Aku tersenyum menyaksikannya, ketika aku tahu kolom kosong nomor dua adalah sebuah kolom yang diperuntukkan buat tanggapanku.
Mengetahui begitu suksesnya rekomendasi artikel saya minggu lalu, hingga tim redaksi menantikan opiniku yang dianggapnya mampu membawa perdebatan lebih menarik. Namun saat ini aku lagi enggan menyalurkan opiniku buat beragumentasi, karna bagiku semua itu tidaklah duratif. Seperti kata seorang dosen asal jakarta yang menyinggung artikelku beberapa bulan lalu, bahwa semua hal itu ada expired-nya, adakalanya akan habis sebelum masa tenggangnya.
Bojonegoro 29 Sep 2015
Sumber http://www.guruberbahasa.com/