Kajian Lengkap: Toleransi Imunologi

Revisi : https://tinyurl.com/_2024

Toleransi Imunologi (Immunological Tolerance) adalah ketidakmampuan dari sistem imunitas untuk memberikan respons (unresponsiveness) terhadap suatu antigen dikarenakan induksi dari antigen yang sama sebelumnya. Sel limfosit yang berhadapan dengan antigen dapat menjadi aktif dan menghasilkan respons imun, ataupun dapat menjadi tidak aktif atau tereliminasi dan menghasilkan toleransi. Antigen yang menyebabkan toleransi disebut tolerogen (tolerogenic antigens). Toleransi terhadap antigen yang diproduksi tubuh (self-antigen) disebut sebagai self-tolerance (Abbas, dkk 2007).

Sistem imun pada dasarnya dipegang oleh dua sel utama, yakni sel limfosit B (berperan dalam respons humoral) dan sel limfosit T (berperan dalam respons seluler). Ketidakmampuan kedua sel tersebut dalam memberikan respons terhadap antigen spesifiknya dikenal dengan istilah anergy. Lymphocyte anergy (disebut clonal anergy) adalah kegagalan dari klona sel B ataupun sel T untuk bereaksi terhadap antigen dan menjadi representasi terhadap mekanisme untuk mempertahankan toleransi imunologi tubuh sendiri (Cruse & Lewis, 2003).

Dasar dari mekanisme toleransi imunologi ditemukan sekitar tahun 1945 dimana, Owen melakukan observasi terhadap kembar sapi non-identik (dizygotic) yang saling berbagi sirkulasi plasental yang sama dan mengembangkan toleransi terhadap antigen dari sel darah satu sama lain. Fenomena ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Burnet dan Fenner. Mereka menduga bahwa suatu antigen yang mencapai sel limfoid, dimana perkembangan imunitasnya belum matang, akan menekan respons terhadap antigen yang sama saat paparan berikutnya dan hewan tersebut secara imunologi telah matang. Percobaan lebih lanjut dilakukan oleh Medawar, Brent, dan Billingham menggunakan transplantasi kulit pada tikus. Medawar dan rekannya menemukan prinsip penting bahwa toleransi imunologi dapat terjadi karena adanya induksi dari suatu antigen pada suatu masa perkembangan limfosit dan proses induksi tersebut dapat dilakukan secara buatan (artificial) (Roitt & Delves, 2001).

Gambar 1. Percobaan yang dilakukan oleh Medawar, Brent, dan Billingham
menggunakan transplantasi kulit pada tikus.


Proses induksi toleransi (induced tolerance) ini kemudian dijelaskan dalam dua tipe, yakni toleransi sentral (central tolerance) dan toleransi peripheral (peripheral tolerance). Toleransi sentral dijelaskan sebagai toleransi yang timbul selama perkembangan dari sel limfosit, sementara toleransi peripheral dijelaskan sebagai toleransi yang timbul setelah sel limfosit meninggalkan organ perkembangan primer (Shetty, 2005). Toleransi sentral (central tolerance) terjadi pada organ primer/sentral dari perkembangan sel limfosit, yakni thymus pada sel T dan sumsum tulang pada sel B. Selama perkembangan sel B dan sel T di sumsum tulang dan thymus, kehadiran antigen yang terdapat pada organ tersebut umumnya hanya berupa antigen sendiri (self-antigen). Hal ini dikarenakan antigen asing dari lingkungan luar, tidak akan ditrasport ke dalam timus, melainkan ditangkap dan ditransportasikan menuju organ limfoid perifer (Abbas, dkk 2007).

Paparan terhadap antigen sendiri dengan dosis tinggi akan memicu sel limfosit muda (immature) mengalami beberapa kemungkinan selama toleransi sentral, yakni sel tersebut akan apoptosis (disebut juga clonal deletion), beberapa sel B muda yang tidak mati akan mengalami perubahan pada reseptor mereka sehingga tidak mengenali antigen sendiri (proses ini disebut juga receptor editing), dan beberapa CD4+ akan berdeferensiasi menjadi sel T regulator (biasa disebut sel T suppressor) yang kemudian bermigrasi ke organ perifer dan mencegah respons terhadap antigen sendiri. Toleransi peripheral terjadi saat limfosit dewasa yang mampu mengenal antigen sendiri akan kehilangan kemampuannya dalam memberikan respons (disebut anergy), turunnya viability sel, dan terinduksi memicu apoptosis (Abbas, dkk 2007).

Sel B dapat menjadi toleransi terhadap suatu antigen melalui empat tahapan peristiwa, yaitu clonal abortion, clonal exnaustion, functional deletion, dan tahap terakhir adalah AFC blockade. Clonal abortion adalah peristiwa ketika pertama kali sel B yang belum matang bertemu dengan suatu antigen dalam jumlah yang kecil. Kondisi seperti ini diduga dapat memicu pembatalan pematangan sel B untuk memicu respons imun, hal tersebut mengakibatkan tidak terjadinya respons imun terhadap antigen tersebut. Peristiwa clonal exhaustion terjadi jika terjadi paparan terhadap suatu antigen yang bersifat T-independent dapat menyebabkan terjadinya clonal exhaustion. Hal tersebut mengakibatkan AFC dari sel B yang terbentuk berusia pendek dan akhirnya tidak lagi tersedia sel yang dapat merespons antigen. Peristiwa delesi fungsional disebabkan oleh keberadaan antigen yang dependent terhadap sel T maupun yang bersifat independen. Terjadinya delesi fungsional disesbabkan oleh tidak adanya bantuan dari sel T untuk melawan antigen tersebut sehingga sel B tidak dapat merespons secara normal. Dosis antigen yang sangat besar dapat mengakibatkan terjadinya penghambatan pembentukan sel AFC sehingga antibodi tidak terbentuk.

Jalur toleransi pada sel T secara umum memiliki kemiripan dengan sel B. Terdapat tiga tahapan yaitu clonal abortion, functional deletion, dan suppression sel T. Clonal abortion adalah tahapan dimana sel T yang belum matang dapat dihambat proses pematangannya dengan cara yang mirip dengan sel B. Functional deletion terjadi saat sel T yang matang fungsinya dihambat oleh paparan terhadap antibodi. Sel T suppression bekerja dengan melepaskan materi penekan sel T sehingga dapat menghambat fungsi sel T yang telah matang untuk mengenali antigen.

Sel T dan sel B memiliki karakteristik toleransi yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan karakteristik tersebut meliputi waktu induksi, dosis antigen, keberadaan antigen, spesifisitas antigen, dan durasi antigen. Waktu induksi yang dimiliki oleh sel T berbeda dengan sel B dan bergantung pada jenis antigennya. Pada antigen dependent sel T, sel T dapat terinduksi dengan cepat sedangkan sel B terinduksi dalam waktu yang lebih lama, yaitu sekitar empat hari. Sedangkan pada antigen yang independent terhadap sel T, antigen tersebut lebih cepat menginduksi toleransi pada sel B.

Dosis antigen yang diberikan juga akan berpengaruh pada induksi terhadap toleransi. Dosis antigen yang diperlukan untuk menginduksi toleransi sel B perlu lebih banyak dibandingkan jumlah antigen yang diperlukan untuk menginduksi toleransi sel T. Diperkirakan perlu antigen sejumlah 100-1000 kali lebih banyak untuk menginduksi sel B dibandingkan jumlah antigen yang diperlukan untuk menginduksi sel T. Keberadaan suatu antigen juga dapat sangat memengaruhi toleransi yang terbentuk sehingga akan berpengaruh juga terhadap waktu lamanya paparan suatu antigen.

Spesifisitas suatu antigen juga berpengaruh terhadap respons toleransi yang terbentuk. Diketahui bahwa suatu toleransi terbentuk secara spesifik untuk epitope tertentu, bukan terhadap antigen tertentu. Hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya toleransi terhadap berbagai jenis antigen yang memiliki kesamaan determinan.

Obat imunosupresif tidak dapat memproduksi toleransi antigen-spesifik jika obat tersebut berfungsi secara seimbang pada klona yang mudah dirangsang. Beberapa obat imunosupresif dapat berfungsi secara spesifik terhadap derivat limfosit, contohnya cyclosporin A mempengaruhi hanya sel T. Obat imunosupresif dapat membuat keadaan antigen-spesifik dengan melibatkan elemen antigen spesifik pada tolerizing regimen, yaitu saat obat berfungsi sebagai kofaktor dalam tolerogenesis. Obat imunosupresif dapat bekerja dengan salah satu dari dua cara berikut: Pertama, dengan merendahkan level dimulainya induksi toleransi. Kedua, dengan memblok sekuen yang berdiferensiasi pada sel yang dipicu oleh antigen.

Obat imunosupresif seperti cyclophosphamide bekerja pada sel T dan B yaitu meningkatkan sensitivitas sel B terhadap tolerogenesis terhadap mekanisme normal dan aktivitas tersebut berhubungan dengan ketidakmampuan sel B diobati dengan cyclophosphamide untuk meregenerasi reseptor immunoglobulin untuk antigen pada permukaan sel B. Sel B neonatal tidak dapat meregenerasi reseptor permukaan setelah mengadakan kontak dengan antigen dan proses capping. Capping merupakan prosedur yang permukaan dari immunoglobulin teragregasi saat dilapisi oleh anti-immunoglobulin sehingga membran bebas dari reseptor immunoglobulin.


Referensi:
  • Abbas, A. K., dkk. 2007. Cellular and Molecular Immunology. 
  • Cruse, J. M. & Lewis, R. E. 2003. Illustrated Dictionary of Immunology. 
  • Cruse, M. J., dkk. 2004. Immunology Guidebook. London. 
  • Roitt, I. M & P. J. Delves. 2001. Roitt's Essential Immunology 10th ed. 
  • Shetty, Nandini. 2005. Immunology: Introductory Textbook. 

Sumber https://www.generasibiologi.com/