Rencana pemerintah untuk membuka pendaftaran pendidikan profesi guru (PPG) reguler disambut baik oleh berbagai kampus. Perguruan tinggi pencetak guru itu siap melaksanakan komitmen jika sudah ada mekanisme resmi yang mengatur lembaga PPG. Pendanaan tetap menjadi kendala. ’’Kami sebagai mitra pemerintah akan siap melaksanakan program tersebut,’’ ujar Rektor Universitas PGRI Adi Buana (Unipa) Djoko Adi Walujo. Terkait dengan kesiapan sarpras (sarana-prasarana), lanjut dia, saat ini Unipa sudah memenuhi beberapa syarat yang ditetapkan untuk pendirian PPG. Syaratnya, antara lain, akreditasi minimal B, serta memiliki infrastruktur, asrama, dan sekolah latihan.
Djoko menjelaskan, sembilan prodi pendidikan di Unipa sudah berakreditasi B. Bahkan, di antara total jurusan pendidikan tersebut, lima prodi telah terakreditasi A. Dia mengakui bahwa pembukaan PPG reguler itu memang cukup penting untuk makin meningkatkan kualitas lulusan keguruan sebelum terjun sebagai pendidik di sekolah. Dengan PPG, kualitas guru yang saat ini tidak terukur akan mendapatkan jaminan saat mengikuti program tersebut.
Meski begitu, Djoko sepakat setiap peserta harus mengikuti seleksi masuk sebelum menjalani PPG. Seleksi itu diharapkan bisa menyaring guru yang sudah siap mengajar di sekolah. ’’Kalau perlu, nanti setiap peserta juga harus ikut psikotes agar kemampuan emosinya diketahui,’’ terangnya.
Di tempat terpisah, Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Rusijono juga menyatakan kesiapannya jika pemerintah menghendaki kampus keguruan membuka PPG reguler. ’’Kami siap saja. Tapi, apakah wacana itu benar jadi dilakukan tahun ini?’’ tanyanya.
Rusijono menegaskan, kewajiban PPG bagi para lulusan pendidikan itu memang tidak bisa dihindari. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan bahwa guru harus memiliki sertifikasi pengajar. Selama ini proses sertifikasi guru bisa ditempuh dengan dua cara. Pertama, melalui pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Kedua, lewat PPG selama satu tahun. Nah, jalur sertifikasi melalui PLPG tersebut, terang Rusijono, tidak berlaku lagi sejak 2015. Peraturan itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005.
’’Dalam UU tersebut, tercatat guru yang belum sertifikasi sejak peraturan itu diundangkan diberi kesempatan selama sepuluh tahun melalui PLPG. Nah, kalau lebih dari itu, guru harus mengikuti sertifikasi melalui jalur PPG,’’ jelas laki-laki 55 tahun tersebut.
Meski begitu, mekanisme sertifikasi guru melalui PPG itu ke depan bukan tanpa kendala. Rusijono menuturkan bahwa salah satu kendalanya adalah pembiayaan pendidikan yang ditempuh selama setahun. Entah biaya sertifikasi tersebut ditanggung pemerintah atau melalui dana mandiri. Sebab, dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pembiayaan sertifikasi guru merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. ’’Tentu jika PPG reguler jadi dilaksanakan, pasti dibutuhkan dana yang cukup besar,’’ paparnya.
Beberapa sumber koran ini mengungkapkan, ada perbedaan besar soal pendanaan. Ada yang menyebut nominal Rp 3 juta–Rp 4 juta untuk PLPG yang berlangsung sepuluh hari. PPG reguler memakan dana hingga Rp 17 juta per orang. Setelah lulus, guru bertitel SPd Gr.
Rusijono menyatakan, sertifikasi bagi tenaga pendidik itu memang perlu dilakukan seluruh lulusan sarjana pendidikan dan guru yang sudah mengajar di sekolah. Dengan adanya standardisasi kemampuan melalui sertifikasi, kualitas pendidikan di Indonesia lebih terjamin dan merata. ’’Guru memang harus tersertifikasi,’’ tegasnya.
source : http://www.jawapos.com
Sumber https://www.pgrionline.com/